Kamis, 16 Juni 2011

Sudut sastra : Monolog Racun Tembakau ala Bali

Gianyar - Sosok pemain arja dengan pakaian khasnya muncul di panggung terbuka Bentara Budaya Bali. Gamelan pegambuhan dengan orkestrasi yang lengkap mulai dimainkan. Musik dan lagu mengiringi tarian sederhana sebelum si pemain mulai menembangkan pidatonya tentang bahaya racun tembakau dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia.

Begitulah dramawan Cok Savitri memulai penampilannya di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Bali, pada Selasa, 31 Mei 2011 lalu. Cok memainkan sendiri naskah yang diadaptasi dari Bahaya Racun Tembakau karya Anton Chekov. Hebatnya, dia mengkreasinya dalam gaya arja alias opera Bali. Maka, selain berupa pernyataan, kalimat-kalimat dikombinasikan sebagai tembang.

Pada awal penampilan, seniman multitalenta ini berperan sebagai istri pejabat. Dia (yang dalam keseharian sejatinya perokok berat) membenci racun tembakau, yang menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. "Akan saya minta semua orang memeranginya," ujarnya. Maka, kemudian dia mendesak suaminya, yang dalam naskah asli bernama Ical Nyukhin, membuat propaganda antirokok.

Cok pun masuk ke belakang panggung. Begitu dia keluar lagi, kumis lebar telah menghiasi ujung hidungnya. Kali ini ia memainkan peran Nyukhin, yang berpidato di hadapan ibu-ibu. "Kata orang, di zaman globalisasi ini, itu kebiasaan berbahaya! Tapi, apa boleh buat, istri saya mengatakan saya harus berbicara hari ini tentang bahaya tembakau," ujarnya. "Dan saya orang yang jujur. Maaf, saya sendiri penggemar racun tembakau itu," ujarnya.

Dari soal racun tembakau, ia lalu melebar ke mana-mana. Menciptakan satire yang menyindir keadaan bangsa ini. Mulai soal Gayus yang ditahan karena menilap pajak tapi bisa jalan-jalan ke Bali hingga pemilihan umum yang hanya menghasilkan para penipu. "Bukankah hal-hal itu jauh lebih berbahaya," tanyanya retoris.

Kemudian, dengan panjang-lebar, sambil terus memainkan keterampilan berpuisi dan menembang, ia mengurai sejarah tembakau. Zat itu sudah menjadi simbol pergaulan yang menyehatkan sebagaimana aneka jenis makanan. Para pembenci rokok bahkan diminta berpikir terbalik dengan melihat kemungkinan menjadikan tembakau sebagai sarana menenangkan jiwa sebagaimana yoga, sembahyang, dan meditasi.

Pada akhir monolog, dia kembali pada keragu-raguan karena kemudian bertatap pandang dengan istrinya. Bicaranya terlihat gugup dan kehilangan konsentrasi. Tapi, tetap saja dia nekat menyatakan selayaknya para koruptorlah yang dibatasi wilayahnya daripada membuat ruang-ruang bebas asap rokok. Di titik itulah musik kemudian bergemuruh bersamaan dengan tepuk tangan para penonton.

Menurut Cok, upayanya memainkan naskah modern dengan pola arja merupakan sindiran bagi dramawan muda yang menjadikan naskah adaptasi sebagai hal yang sakral, tanpa mencoba melakukan hal-hal baru. "Padahal konteksnya sering sulit diterima penonton kita," ujarnya. Di pihak lain, para pemain arja sering kali gagal menyelipkan humor yang sesuai dengan alur cerita sebagaimana dalam naskah drama modern. Mereka kemudian menyisipkan humor yang tidak relevan dan cenderung porno.

Dalam khazanah Bali, monolog dikenal dalam arja topeng rajeg yang diperankan pemain tunggal. Bedanya, dalam topeng rajeg, yang kini jarang ditemukan, cerita seluruhnya disampaikan dalam bentuk tembang dengan iringan gamelan geguntalan yang sangat sederhana.

Soal gamelan yang dimainkan kelompok Bumi Badjra juga menjadi sisi lain yang menarik dari pertunjukan itu. Sebab, anak-anak asuh komposer Bali, Ida Oka Granoka, itu justru menggunakan jas warna hitam lengkap dengan berbagai aksesori lainnya layaknya pemain musik klasik. Padahal biasanya mereka memainkan musik sakral saat tampil bersama kelompok Mahabadjra Sandhi. "Mereka memang ingin nyeleneh dengan beradaptasi dengan penampilan musisi Barat," ujar Cok.

Dramawan senior Abu Bakar menyebutkan penampilan Cok memberi alternatif baru bagi pegiat teater di Bali. Cok berhasil melakukan berbagai kombinasi karena sebelumnya bekerja secara serius, baik dalam menekuni drama modern maupun drama tradisional. Ia selama ini juga dikenal sebagai pemain arja dan gambuh yang mumpuni. "Karena itu, dia tidak mengalami kesulitan menembangkan kalimat yang umumnya hanya diucapkan," ujarnya.

ROFIQI HASAN
Sumber:Tempo

0 komentar:

Posting Komentar

trimakasih telah mengunnjungi blog ini
Silahkan untuk sekedar memberikan komentar serta kritik ataupun saran demi perbaikan blog ini..